Ketut Putrayasa menggunakan tiga mata bajak bambu untuk menciptakan seniman patung yang disebutnya Hammering into Being. Mereka berdiri tegak, dibingkai oleh langit, karya terbarunya.
Sekilas, bambu itu menyerupai alat kelamin wanita. Penampang melingkar dan ruang segitiga memanjang di ujung barat menyerupai sebutir beras. Alat musik tiup sunari meniup mata bajak, yang menancapkannya ke bumi dengan “kusari”. Istilah ini menunjukkan dukungan atau perlawanan yang kuat dan sering digunakan dalam ritual di Bali.
Ketika saya memikirkan “sunari”, saya tidak tahu apakah itu keluhan dari masa lalu atau seseorang yang cemas akan diusir dari tempat upacara untuk bertani. Di THE LAST STRONGHOLD, hamparan luas lahan pertanian manusia diserang oleh bangunan vila yang arogan dan berkelas. Petani huma dibuat terlihat berkelas dan arogan ketika menjadi incaran industri pariwisata.
Mesin ekonomi dengan cepat menghapus lanskap imajiner. Sebagai gantinya, benteng terakhir peradaban agraris muncul di depan mata seseorang. Meskipun rasanya seperti seseorang menunggu untuk mati, bayang-bayang itu masih sangat nyata.
Kata padang dalem mengacu pada cahaya dari dalam: itu adalah sumber kehidupan dan pekerjaan bagi para petani selama berabad-abad. Hal ini juga berkaitan dengan bahasa Nusantara kuno yang dapat diartikan sebagai cahaya yang menyinari bumi. Dan bukankah sawah juga dianggap menerangi tanah dengan cahaya?
Hanya dengan melestarikan benteng terakhir peradaban pertanian Bali, Subak Padang Dalem, para petani dapat merawat dan memuliakan tanah airnya. Universitas kesabaran ini adalah upacara nyata dari karma kanda; itu juga merupakan doa dalam tindakan di jalan menuju pencerahan. Teater panggung terakhir petani duduk dengan damai di antara perbukitan hijau dan sungai yang perlahan bergerak melalui saluran batu. Ini adalah tempat di mana seseorang menghadapi tantangan kontemplasi dan neurosis.
Gaya hidup yang mendorong libido menyebabkan orang tertusuk kenikmatan seksual. Kondisi nungkalik ini-yang berlangsung bertahun-tahun-mengancam budaya agraris masyarakat Bali. Ruang-ruang seremonial seperti subak menjadi tak berdaya saat diterpa fenomena budaya ini. Orang-orang menjadi terjerat dalam realitas palsu ketika terbungkus dalam gambar; mereka tidak menyadari kondisi mental mereka yang mandul.
Dengan pengunduran diri yang kelam muncullah kreasi seni oleh para petani yang membajak bumi. Hal ini karena doa pencipta untuk tanah air yang ingin ia ciptakan hancur berkeping-keping sebelum matanya terbentuk saat giginya terangkat menyongsong langit.
Kita perlu mendefinisikan kembali kecerdasan dan kemakmuran agar kita dapat menciptakan sistem kesejahteraan yang baru. Saat ini, kami menghitung kesejahteraan berdasarkan ukuran kota dan kualitas jalan kami. Namun, ukuran ini tidak dapat dibenarkan. Ukuran sebenarnya dari kecerdasan dan kemakmuran masih harus ditentukan.
Sedangkan pintar tidak arus dimaksud manusia berhasil mengatasi kesementaraan-seperti juga pabrik kimia yang berhasil mengatasi hama, serta diyakini sangat membetulkan hidup dalam kesementaraan. Tetapi meninggalkan peninggalan toksin yang wajib kita hadapi sepanjang sebagian generasi. Dus, ini tidaklah kecerdasan. Ini merupakan kedunguan yang dirayakan dengan syahwat menggelora. Seperti itu makna devosi kreatif Ketut Putrayasa, yang mudah-mudahan bisa menyadarkan kita kembali.