Memulai pasca-pandemi covid-19, dalam kurun waktu sebulan, 26 Juli sampai 26 Agustus, Galeri Nasional Indonesia, kembali menggelar Pameran Seni Rupa Kotemporer Indoensia: Manifesto VIII.
Menunjukkan 108 karya perupa Indonesia. Angka 108 secara kebetulan menyerupai jumlah biji “japa mala”-tasbih pendeta Siwa-Buddha.
Piranti yang dipetik kesekian secara meditatif sambil melantunkan mantra-mantra opsi, Tetapi seratus 8 karya yang dipamerkan di Galeri Nasional itu tidak hendak dipersamakan selaku tasbih.
Hanya menegaskan kita pada “kerutinan” yang dicoba seseorang pejalan spiritual; memutar, memutar tasbih tetap, berharap menemukan keheningan batin. Beda dengan seratus 8 karya yang dipamerkan di Galeri Nasional, yang tidak lain ajang gelar kreasi seniman patung Indonesia, dipilih dari 613 calon partisipan lewat jalan undangan yang pemicunya boleh jadi dari keheningan, ataupun kegelisahan estetik.
Manifesto VIII berjudul TRANPOSISI yang dalam pengantar katalog pameran, para perupa diharapkan mempunyai kepekaan visioner, hendaknya dalam posisi paling krusial, si perupa diharap sanggup berkontribusi positif untuk kehidupan masyarakat, mendesak kemajuan era.
Dari mari segara tersirat satu utopia; seniman merupakan ia yang mempunyai visi “mata intuitif” dibekali pandanan membaca ukuran lain, yang direngkuhnya untuk menegaskan pergantian yang muncul di depan mata, entah dengan metode satire ataupun sodokan kritis “memberontak” Memanglah, siapa saja yang tidak peka mengalami pergantian, lekas hendak menjawabnya dengan kerutinan, serta hidup dibuat absurd, hampir tanpa gool tentu.
Orang-orang bergegas tanpa tujuan, langkah kemarin, sama dengan langkah hari ini. Manusia tercebur dalam seluruh pergulatan. Kekonyolan, kebaikan, empati, siasat entah untuk mencapai apa.
Siapa memperdaya siapa. Siapa memperalat siapa. Tiap pejalan cuma muncul selaku pejalan. Seluruh jadi absurd. Sementara itu yang abadi, dunia menakdirkan diri dalam pergantian.
Sedangkan orang-orang menjaganya dengan kerutinan-sang pejalan tidak sempat bergegas. Apa makna kelindan hidup semacam itu? Sebaris persoalan ini juga jadi persoalan absurd, manakala manusia tidak “mengizinkan” batinnya bertumbuh, menguasai hakikat hidup serta tentang apa yang dikerjakan-meyakini hidup ini menggelinding begitu saja, sambil mengulang-ulang hal-hal teratur, tidak berikan ruang perkembangan ide budi.
Pertanyaan-pertanyaan absurd inilah sebetulnya dititipkan perupa Ketut Putrayasa di Galeri Nasional melalui “Sisyphus Game”, instalasi berbahan baja virkan, stainless, serta kuningan, berdimensi 215 X 230x 40 centimeter.-dengan berat lebih dari 1000 kilogram ataupun setara dengan satu ton.
“Sisyphus Game” Karya Seniman patung Bali I Ketut Putrayasa, termotivasi mitologi Yunani Kuno, di mana nanti, Albert Camus, seseorang filsuf Prancis, menukilkannya jadi esai filsafat Mengenai pergulatan manusia dengan absurditas.
Penalaran absurd, manusia absurd, kreasi absurd, harapan absurd. Judul bukunya Mite Sisifus. Dalam mitologi Yunani, Sisyphus menipu dewa kematian-dia kemudian dikutuk mendesak batu besar ke atas bukit. Begitu dia sampai di puncak, batu menggelinding kembali ke dasar, serta Sisyphus wajib mendorongnya kembali.
Begitu selalu. Sangat perjuangan percuma serta absurd. Sebab absurditas ini, Camus menolak seluruh wujud agama, futurisme ataupun ideologi-ideologi yang menjanjikan kebaikan di masa depan. Untuk Camus yang berdialog merupakan pengalaman indrawi, kongkrit masa saat ini. Sebab itu susah untuk Camus untuk berdialog mengenai cita-cita ataupun perencanaan di masa depan.
Dunia ini irasional sebab tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana maupun tujuan hidup manusia. Karena di sana, Camus yang amat mengagumi Nietzsche, menilik absurditas berarti ketidakmungkinan mencari jawab pada yang transenden.
Begitu kira-kira apabila boleh meminjam penegasan Meter. Sastraprateja dari buku berjudul Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat (1983). Tetapi Sisyphus Game, satire baja virkan Ketut Putrayasa tidak tengah bawa pesan filosofi serta tantangan moralitas.
Untuk seniman patung kelahiran desa pesisir Canggu ini, dia lebih menyitir pada satu satire kebudayaan, pada keadaan-keadaan saat ini yang menyerang bangsa serta pulau-di mana bencana, kemalangan, dan krisis multi ukuran senantiasa dialami dengan kerutinan absurd.
Hampir semacam Sisyphus yang dikutuk mendesak batu ke puncak bukit, terjatuh kemudian mendorongnya lagi dari dasar. Sejarah serta pengalaman tidak sempat kuasa menyadarkan manusia menemukan terobosan-terobosan baru. Agama, ilmu, sain, tidak cukup dibuat berkutik dihadapan bencana yang dialami manusia.
Bagi Putrayasa, ini merupakan sebentuk penjara kurutinan. Dia sadar, kerutinan merupakan musuh paling beresiko seseorang kreator— dalam penafsiran luas, dia juga musuh besar untuk pemegang kebijakan publik yang tidak menemukan jalur keluar saat krisis mengenai rakyat. Pandangan-pandangan satire Ketut Putrayasa, terlihat mirip dengan pemikiran E. F. Schumacher, penulis buku Small Is Beautiful.
Di sana, dalam buku berjudul A Guide For The Perplexed, edisi Indonesia Keluar dari Kemelut (1981), E. F. Schumacher menulis begini, Aku teringat, kalau sepanjang bertahun-tahun hidup aku penuh kebimbangan; serta tidak seseorang juga juru bahasa tiba membantu aku.
Kebimbangan itu seluruhnya mencekam aku sampai saat aku tidak lagi mencurigai kewarasan pencerapan-pencerapan aku serta mulai mencurigai peta-peta (pengetahuan) yang dissodorkan para pendahuluku. ”Tegas Schumacher“ Peta-peta yang diberikan pada aku memperingatkan, kalau nyaris seluruh leluhur aku, sampai generasi yang baru-baru ini, ialah penggantang-penggantang asap menyedihkan; yang menuntun hidup mereka atas bawah kepercayaan-kepercayaan irasional serta takhyul-takhyul absurd.
Apalagi para ilmuwan terkemuka semacam Johann Kepler ataupun Issac Newton sekalipun rupa-rupanya sudah menghabiskan sebagian besar waktu serta tenaga mereka untuk riset yang bukan-bukan, tentang hal-hal yang tidak ada. Selama sejarah, tidak terhitung banyaknya kekayaan yang diperoleh dengan sulit payah dihambur-hamburkan demi kehormatan dan kejayaan dewa-dewa khayali-bukan saja oleh leluhur-leluhur Eropa saja, melainkan oleh seluruh bangsa di segala penjuru dunia.